Ini kisahku, kisah dimana aku mencintai seseorang setelah menanti sekian lama, namun ia meminang wanita lain.
Awal mula aku mengenalnya tepat pertengahan tahun 2011 di saat aku sedang sibuk-sibuknya mengerjakan tugas akhir yang tak kunjung selesai. Saat itu aku di perpustakaan untuk mencari referensi yang berkaitan dengan tugas akhirku. Lalu tanpa sengaja aku menemukan sebuah buku referensi atas nama Mba Cin (bukan nama sebenarnya). Setelah kulihat-lihat aku pun memutuskan untuk menggali ilmu lebih dalam secara langsung dengan Mba Cin ini. Aku pun menghubungi beliau melalui email dan berteman dengan akun facebook miliknya.
Perkenalan kami pun berlanjut hingga saling kontak melalui telepon. Ia sering menjelaskan metode yang tidak aku pahami mengenai tugas akhirku. Namun, aku yang memang kurang cerdas merasa agak kesulitan untuk mengikuti penjelasannya melalui telepon. Akhirnya, suatu hari Mba Cin mengajak aku bertemu muka agar sharing ilmunya lebih jelas, tetapi sangat disayangkan rencana itu selalu gagal. Entah aku yang tidak bisa ataupun beliau yang ada halangan ketika ingin bertemu. Suatu hari ia seperti menyerah dalam membimbingku, ia pun mengatakan bahwa temannya seorang pria mungkin bisa membantuku. Akupun dikenalkan olehnya melalui media sosial.
Setelah perkenalan dan basa-basi, akupun mulai menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan tugas akhirku. Oh iya, aku dan dia terpisah cukup jauh, aku di Indonesia, tepatnya di Surabaya sedangkan dia sedang menyelesaikan tesisnya di Universitas Malaya, Malaysia. Kali ini aku tidak mau mengulang kesalahanku lagi, aku ingin benar-benar bisa. Karenanya, aku belajar pelan-pelan sampai aku mengerti. Dia pun mengajariku dengan sabar. Bahkan bersedia mengoreksi coding untuk software yang aku buat. Pada akhirnya, aku pun mengerti dan bisa menyelesaikan tugas akhirku.
Dengan seringnya kami berkomunikasi,akhirnya muncul rasa aneh dalam diriku, entah rasa apa ini, aku pun tidak tahu. Selama ini aku tidak pernah dan tidak akan mau yang namanya pacaran, sehingga aku tidak terbiasa dengan perasaan yang tiba-tiba datang kepadaku seperti sekarang. terlebih perbincangan kami sering mengarah kepada hal-hal di luar tugas akhir. Kadang hanya menyapa menanyakan kabar sedang melakukan apa, bagaimana rencana kedepannya, dan sebagainya. Setiap chatt dengannya ada debaran aneh yang aku rasakan. Debaran aneh ini menurut beberapa sumber adalah PERASAAN CINTA.
Seiring berjalannya waktu, perasaan tersebut semakin kuat kurasakan. Namun, aku tetap tidak mau menunjukkan perasaan ini kepadanya. Aku tetap tidak mau seandainya perasaan ini membawaku kepada jurang kemaksiatan; maksudnya pacaran. Biarlah aku menyimpan perasaan ini sampai waktunya tiba. Biarlah aku menanti dalam jalan yang kuyakini benar ini.
Hingga suatu hari, komunikasiku dengan dia mulai berkurang. Ini tidak lepas dari tugas akhirku yang sudah selesai. Meskipun kadang ingin bertanya sedikit perihal tugas akhir, namun aku lebih memilih untuk mencari jawabannya dengan cara lain. Aku takut ketika bertanya malah akan membuka jalan yang selama ini aku takuti; dekat tanpa keperluan pasti. Dia pun sepertinya sibuk dengan urusannya. Entah sibuk dalam urusan apa aku tidak tahu pasti.
Melalui kegigihan serta semangat pantang menyerah, alhamndulillah atas izin-Nya, tepat pada bulan maret 2014 aku melangsungkan sidang dan dinyatakan lulus. Senang bukan main karena kerja kerasku terbayar lunas. Dalam prosesnya, banyak rintangan yang aku hadapi, terutama diambilnya satu demi satu orang-orang yang kusayangi. Pertama, adikku yang baru menginjak SMP meninggal akibat penyakit TBC. Daya tahan tubuhnya lemah, sehingga tidak mampu melawan penyakit yang diakibatkan bakteri tersebut. Kemudian, lewat 40 hari setelah meninggalnya adikku, Allah SWT memanggil nenek, seseorang yang selama ini merawatku sedari kecil. Aku sangat kehilangan sosok penyayang dari dirinya. Kejadian tersebut sempat membuatku shock, fokusku hilang dalam menyelesaikan tugas akhir.
Beberapa minggu setelah itu, fokusku mulai bangkit. perlahan kulanjutkan tugas akhirku, hingga akhirnya aku dapat menyelesaikannya. Namun, cobaan belum juga selesai. Tepat seminggu sebelum hari wisudaku, lagi-lagi Allah SWT memanggil orang yang aku sayangi. Kali ini Dia memanggil satu-satunya kakak lelakiku. Aku kehilangan sosok yang melindungiku. Sosok yang membantu menyemangatiku untuk bisa menyelesaikan kuliahku. Sosok yang kadang membuatku tertawa.
Setelah lulus, aku bekerja serabutan demi bisa makan. Meski sudah lulus, bukan berarti mudah mendapat pekerjaan. Butuh perjuangan, butuh pengorbanan, penantian, dan tentu keberuntungan untuk mendapatkan pekerjaan yang benar-benar kita idamkan. Hingga suatu saat, aku terpikir untuk memulai ikhtiar mempersiapkan diri jika ada yang datang melamar. Lalu, sosok dia melintas dibenakku. Ya Robb, jika dia memang jodohku, jangan sia-siakan penantianku ini. Selama ini aku menantinya, meski tak menunjukkannya. Selama ini aku mengharapkannya, meski tak menghubunginya. Beberapa hari kemudian, sepertinya doaku terjawab. Lelaki yang kunanti dalam diam menghubungiku lewat sosial media. Dia menanyakan kabarku, menanyakan perihal kelulusanku, dan pekerjaanku sekarang. Betapa senang rasanya ketika aku kembali bisa berkomunikasi dengannya. Kembali berbagi pengalaman yang pernah kami alami, baik pengalaman menyenangkan, buruk maupun pengalaman lucu. Kebahagiaan dalam diriku tidak dapat diungkapkan kali ini.
Hari demi hari aku semakin dekat dengannya, meski komunikasi kami hanya melalui sosial media. Hingga suatu hari dia meminta untuk bertemu. Dia mengatakan bahwa di awal tahun 2015, dia akan kembali ke Indonesia dan ingin bertemu denganku di kampus kami, dia juga merupakan alumni kampus yang sama denganku. Betapa bahagianya diriku membayangkan hari di mana kami dapat bertatap muka secara langsung. Setahuku, melihat langsung seseorang yang berniat serius kepada kita sangatlah penting. Dalam islam aku pernah membaca proses itu disebut 'nazor'. Rasanya sudah tidak sabar menunggu hari itu.
Selama menanti hari yang sangat kutunggu, komunikasi kami tetap berlangsung namun semakin mendekati hari dimana kami akan bertemu seperti ada sesuatu yang mengganjal dalam hati. Ya Robb, aku serahkan semuanya kepada-Mu. Engkaulah yang tahu apa yang terbaik untuk hamba-Mu. Hampir dalam setiap doa aku memohon agar diberikan yang terbaik, entah itu bersamanya ataupun bukan. Namanya menjadi sering kusebut dalam doa. Dalam penantian yang rasanya sudah terlihat ujungnya, seperti ada sosok yang menungguku namun entah siapakah orangnya.
Dalam penantian ini, aku mencoba meningkatkan ibadahku agar Allah memantaskanku untuknya. Aku pun selalu mendoakannya agar ia dipantaskan untuk menjadi imam yang baik bagi makmumnya nanti. Dalam setiap doa itu, aku menyelipkan harapan agar akulah yang menjadi makmumnya kelak; seseorang yang menemani perjalanan hidupnya, seseorang yang menenangkan dirinya di saat masalah dunia terasa berat, menjadi penyemangatnya ketika bekerja demi masa depan yang cerah. Harapan-harapan itu semakin kuat menjelang hari pertemuan kami.
Beberapa hari menjelang hari pertemuan kami, sesuatu yang tidak diharapkan terjadi. Pada hari yang seharusnya aku bertemudengannya, aku harus datang untuk wawancara kerja. Aku pun menyampaikan padanya perihal masalah ini. Dia bilang tidak masalah walau hanya bertemu sebentar. Dia bilang, ada hal yang sangat penting yang ingin ia sampaikan langsung kepadaku. Saat dia mengatakan itu, entah mengapa ada sesuatu yang mengganjal dalam hati perihal apa yang ingin ia sampaikan. Seperti hal yang tidak baikatau sesuatu yang tidak aku harapkan. Namun, aku tepis semua pikiran negatif yang muncul dalam benakku tersebut.
Hari yang ditunggu pun tiba. Pagi-pagi sekali aku sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi wawancara. Di saat yang sama pula dia mengabarkan sedang bersiap untuk berangkat ke kampus dimana kami akan bertemu. Fokusku terpecah antara wawancara kerja dengan pertemuan dengan dia. Aku pun berharap semoga proses wawancara nanti lancar dan tidak mengecewakan. Di luar dugaan, proses wawancara yang panjang membuatku tidak sempat untuk bertemu dengannya di kampus. Aku pun menyampaikan hal ini dengan sangat penuh sesal. Rasanya takdir tidak memihak pada kami. Tempat wawancara dengan kampus cukup jauh, jadi aku tidak bisa sampai kesana dengan cepat. Begitu pun dengan dia yang tidak bisa menunggu terlalu lama karena ada kepentingan lain yang mendesak. "Ya Allah, pertanda apakah ini?" Mengapa rasanya hati ini semakin berfikir hal negatif akan kelanjutan hubungan ini. Aku semakin merasa bahwa penantian ini tidak akan segera berakhir, khususnya berakhir bersamanya.
Setelah hari di mana aku gagal bertemu langsung dengannya, komunikasi kami tetap berjalan, namun tidak sesering hari itu. Ada yang aneh dengannya, seperti ada yang ingin disampaikan olehnya namun ia tidak mampu untuk mengatakannya. Hingga suatu saat aku memaksanya untuk mengatakan apa yang selama ini mengganjal di hatiku dan mungkin juga di hatinya. Setelah kupaksa beberapa kali, akhirnya dia pun mengatakan bahwa ia harus menikah dengan yang lain. Ia ingin bertemu denganku langsung di kampus salah satunya untuk menyampaikan hal ini, di samping ada keperluan dengan pihak kampus. Hancur sudah harapan yang selama ini kugantung di setiap doaku. Pupus sudah penantian panjangku untuk menjadi makmumnya. Berurai air mata aku mendengarkan kata-katanya. Padahal, jika aku pikir-pikir hubungan kami belum menjadi apa-apa, meski cukup dekat melalui sosial media. Hari demi hari aku lalui dengan kesedihan. Bagaimana tidak, penantian panjangku berakhir tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Setelah kejadian itu, aku mencoba kembali menata hati dan mengevaluasi diri. Mungkin ada yang salah dengan perasaanku, mungkin juga ibadahku menjadi tidak ikhlas karena hanya mengharapkan imbalan bisa menjadi makmumnya. Sempat terpikir juga apakah ini karena aku terlalu mencintainya dalam diam, sehingga ia tidak merasakan betapa rasa ini besar kepadanya. Namun, semua itu kutepis jauh-jauh. Bukankah dulu Ali, RA mencintai Fatimah, R.ha dalam diam? Bukankah Fatimah, R.ha pun lebih menunggu Ali, RA untuk melamarnya daripada mengutarakan perasaannya terlebih dahulu? Apa pun itu, aku merasa bahwa aku harus lebih sabar dalam penantian, ikhlas dalam menjalaninya, tetap beribadah karena-Nya bukan karena ingin mendapatkan sesuatu yang bersifat dunia. Ya Robb, maafkanlah hamba selama ini yang lebih giat beribadah ketika menginginkan sesuatu saja.
Penantianku pun berlanjut, lambat laun hati ini mulai tertata lebih baik. Aku lebih ikhlas dalam menjalankan perintah-Nya. Tidak ada lagi pengharapan yang berlebihan terhadap jodoh. Aku yakin ketika Allah SWT menganggap aku siap, maka Dia akan menuntunku untuk menyelesaikan penantianku. Insya Allah penantianku kali ini terasa lebih indah. Lebih indah karena lebih ikhlas dalam menjalani-Nya., lebih indah karena sudah mendapat pelajaran berharga dari-Nya.
Posting Komentar
Posting Komentar